Soal IPS Kelas 7 Bab 5 – Perkembangan Masyarakat Masa Hindu-Buddha hingga Kolonialisme Barat : Sahabat Nadi Guru yang berbahagia, semoga kita dalam menjalani hidup ini selalu ada dalam kesehatan. Pada kesempatan ini, Nadi Guru melalui blog sederhana soal.nadiguru.web.id yang khusus untuk kumpulan soal akan menyajikan contoh soal ulangan harian.
Adapun soal ulangan harian ini yakni pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk contoh Soal IPS Kelas 7 Bab 5 tentang Perkembangan Masyarakat Masa Hindu-Buddha hingga Kolonialisme Barat adalah sebagai berikut:
Wacana
Melancong Sambil Menginjak Nisan Pengkhianat di Imogiri
Perry, wisatawan asal Belanda, dan empat rekannya terlihat terengah-engah mendaki anak tangga demi anak tangga di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul. Lima turis itu memang sengaja mengunjungi makam raja-raja penguasa tanah Jawa itu untuk membuktikan dengan mata kepala mereka sendiri kultur masyarakat Jawa dalam menghargai raja mereka, dan di sisi lain bagaimana pula para raja itu menyikapi diri sebagai penguasa tertinggi.
Jika para turis itu tampak kelelahan, hal itu amat wajar karena tangga yang mereka lewati kemiringannya sekitar 45 derajat dan jauhnya mencapai sekitar 200 meter! Sah-sah saja jika masyarakat Jawa menyebut anak tangga yang menuju makam Imogiri adalah Trap Sewu, artinya tangga seribu. Bisa dibayangkan jika kita mendaki bukit tanpa henti dalam seribu langkah, hasilnya yang pasti adalah lelah. Setiap orang pun akan lelah karena mendaki dari kaki bukit. Tangga itu sendiri bukan berjumlah seribu, hanya lantaran banyaknya maka dianggap seribu.
Dibangun sekitar tahun 1632 Masehi oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam terbesar. Bangunan makam lebih bercorak bangunan Hindu. Pintu gerbang makam dibuat dari susunan bata merah tanpa semen yang berbentuk candi Bentar. Mirip sebuah candi Hindu yang dibelah menjadi dua bagian. Yang menarik yaitu makam Imogiri (juga disebut Pajimatan Imogiri) terbagi menjadi tiga bagian. Jika kita datang menghadap ke makam itu, pada bagian tengah adalah makam Sultan Agung dan Susuhunan Paku Buwono I. Di sebelah kanan berderet bangunan makam para sultan Keraton Yogyakarta, mulai dari Sultan Hamengku Buwono I, II, III yang disebut Kasuwargan. Disusul di sebelah kanan makam Sultan Hamengku Buwono IV, V, dan VI yang dinamakan Besiaran. Paling akhir di sisi paling kanan adalah makam Sultan Hamengku Buwono VII, VIII, dan IX yang disebut Saptorenggo.
Pada sisi kiri berturut-turut adalah makam para sunan dari Keraton Surakarta, mulai dari Susuhunan Paku Buwono III (abang Sultan HB I) hingga Susuhunan Paku Buwono XI. Khusus makam Sultan Hamengku Buwono II, jenazahnya dimakamkan di makam Senopaten di Kotagede, Yogyakarta, di dekat makam Raja Mataram I, Panembahan Senopati yang ketika muda bernama Sutawijaya atau Panembahan Loring Pasar. Memasuki makam raja-raja Mataram
jelas tidak sama dengan memasuki pemakaman umum. Setiap makam raja memiliki bangunan khusus dan berada di tataran yang khusus pula. Sebagai contoh, untuk masuk ke makam Sultan Agung, selain harus mengenakan pakaian adat Jawa (peranakan), kita harus melepas alas kaki, juga harus melalui tiga pintu gerbang.
Bahkan yang bisa langsung berziarah ke nisan para raja itu pun terbatas pada keluarga dekat raja atau masyarakat lain yang mendapat izin khusus dari pihak Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Oleh karena itu, peziarah awam yang tidak siap mengenakan pakaian adat Jawa, terpaksa hanya bisa melihat pintu gerbang pertama yang dibuat dari kayu jati berukir dan bertuliskan huruf Jawa berusia ratusan tahun, dengan grendel dan gembok pintu kuno. Hanya para juru kunci pemakaman itu yang bisa membuka gerbang tersebut. Jika masyarakat awam bisa melihat ”isi” di balik pintu gerbang pertama, itu pun ketika keluarga raja datang, pintu gerbang dibuka lebar, dan masyarakat bisa melongok sebentar sebelum gerbang itu ditutup. Rasa penasaran itu pula yang menyebabkan misteri makam Raja Mataram tetap terpelihara.
Kisah terpisahnya makam raja-raja Yogyakarta dan Surakarta itu berkaitan dengan pemberontakan Pangeran Mangkubumi terhadap abangnya, Sunan Pakubuwono III di Kartasura (Mataram). Sejarah mencatat, Sunan Paku Buwono III kala itu berada dalam cengkeraman kekuasaan Belanda. Pangeran Mangkubumi memberontak. Peperangan itu berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram dibagi dua. Di sisi barat adalah daerah Yogyakarta dan di sisi timur wilayah Surakarta. Pangeran Mangkubumi pun kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I. Sejak itu pula prosesi pemakaman raja-raja keturunan Sultan Agung pun dibagi di dua tempat, di sisi kiri dan kanan makam Sultan Agung. Selain makam para raja itu, ternyata di salah satu tangga menuju makam itu terdapat sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah. Nisan itu berada sekitar 10 meter dari pintu gerbang utama. Itulah nisan makam Tumenggung Endranata. Tumenggung itu dianggap mengkhianati Mataram dalam kisah perang melawan Belanda semasa pemerintahan Sultan Agung.
Sebagai raja terbesar di Mataram, Sultan Agung kala itu berhasil menyatukan seluruh wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah itu perhatiannya mengarah kepada musuh-musuh berasal dari luar, yaitu Belanda yang telah menguasai Jayakarta (Batavia/Jakarta). Pada tahun 1628 dan 1929 bala tentara Sultan Agung menyerang Jayakarta. Akan tetapi, dua kali serangan itu gagal. Konon, salah satu penyebab kegagalan itu adalah ulah Tumenggung Endranata yang membocorkan siasat pertempuran. Keberadaan lumbung-lumbung bahan pangan untuk prajurit Mataram dibocorkan ke pihak musuh. Akibatnya, lumbung-lumbung itu kemudian dibakar tentara Belanda. Tumenggung itu kemudian ditangkap dan dipenggal kepalanya. Untuk mengenang dan sekaligus memperingatkan kepada rakyat Mataram agar pengkhianatan itu tidak terjadi lagi, tubuh tanpa kepala tumenggung itu dikubur di salah satu kaki tangga ke Makam Imogiri agar semua orang bisa menginjak ”tubuh” pengkhianat itu.
Di sisi lain, meskipun serangan Sultan Agung itu gagal, Gubernur Jenderal Belanda di Jayakarta, J.P. Coen, berhasil dibunuh. Nisan yang dijadikan batu tangga itu pun kini bentuknya sudah berlekuk lantaran terlalu banyak yang menginjak. Namun, ada juga cerita versi lain. Badan tanpa kepala yang dikubur di tangga Imogiri itu adalah tubuh J.P. Coen sendiri sebagai simbol kebencian terhadap penjajahan. Mana yang benar, belum diketahui pasti. Akan tetapi, penuturan cerita itu begitu saja meluncur dari para pemandu wisata.
Bagi yang percaya, terutama masyarakat Jawa, rasanya tidak lengkap jika datang ke makam Imogiri tidak disertai permohonan. Apakah ini yang disebut sinkretisme atau istilah apa pun, yang jelas masih banyak peziarah yang melakukan itu. Setiap malam Jumat Kliwon, malam Selasa Kliwon banyak peziarah yang datang ke sini. Mereka datang sejak siang atau sore kemudian menghabiskan malam hari dengan bertirakat di sini.
Menurut seorang pemandu wisata Sri Sumiyati, para peziarah itu banyak yang berasal dari Cilacap, Indramayu, dan Banyumas. ”Mereka percaya dengan berdoa di makam Imogiri apapun yang mereka inginkan terkabul. Para peziarah itu lebih berkiblat kepada raja-raja Yogyakarta,” tuturnya. Para peziarah itu, biasanya menghabiskan waktu pada malam-malam sepi itu di beberapa bangunan mirip pendapa yang ada di kawasan itu. Baik itu yang dibangun oleh pihak Kesunanan Surakarta maupun Kesultanan Yogyakarta. Percaya atau tidak, setiap bulan Sura (Muharam), banyak peziarah yang datang ke makam Imogiri. Meskipun di dalam ajaran Islam tidak dikenal ritual membakar kemenyan, para peziarah banyak yang membakar kemenyan wangi dan dupa wangi disana. Akulturasi budaya antara Hindu, Jawa, dan Islam begitu kental di pemakaman raja-raja Mataram ini. Akulturasi budaya itu justru menciptakan kedamaian. Tidak ada konflik di sana. Semua mengalir dalam damai. Malam-malam penuh doa itu pun berjalan lancar hingga pagi. Para peziarah pulang dengan hati lapang dengan harapan: semoga permohonan ini diterima oleh Yang di Atas.
Dikutip secara bebas dari: www.sinarharapan.co.id
Setelah membaca wacana di atas, kerjakan soal-soal berikut!
A. Pilihlah jawaban yang tepat!
1. Kerajaan Mataram yang berada di Yogyakarta didirikan oleh . . . .
a. Sri Sultan Hamengku Buwono I
b. Panembahan Senopati
c. Susuhunan Paku Buwono I
d. Sultan Agung Hanyokrokusumo
2. Kompleks makam Imogiri penuh dengan percampuran beragam bentuk budaya. Proses tersebut biasa dikenal dengan . . . .
a. interaksi c. inkulturisasi
b. akulturasi d. sinkretisme
3. Makam Imogiri terbagi menjadi tiga kompleks. Kompleks bagian tengah merupakan makam . . . .
a. Sultan Agung dan Panembahan Senopati
b. Sultan Hamengku Buwono I dan Sultan Agung
c. Sultan Agung dan Susuhunan Paku Buwono I
d. Sultan Hamengku Buwono II dan Susuhunan Paku Buwono I
4. Makam Imogiri digunakan untuk makam raja-raja dari . . . .
a. Sultan Demak
b. raja-raja Mataram
c. keluarga Sultan Yogyakarta
d. keluarga Kesunanan Surakarta
5. Pintu gerbang makam dibuat dari susunan bata merah tanpa semen yang berbentuk candi bentar.
Model bangunan tersebut mendapat pengaruh budaya . . . .
a. Jawa c. Hindu
b. Islam d. Buddha
6. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang pernah menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan pahlawan nasional dimakamkan di kompleks Imogiri yang bernama . . . .
a. Pajimatan c. Kasuwargan
b. Saptorenggo d. Senopaten
7. Sutowijoyo yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram berasal dari Kerajaan . . . .
a. Demak c. Cirebon
b. Pajang d. Majapahit
8. Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta merupakan dampak dari . . . .
a. Perjanjian Tuntang
b. Perjanjian Giyanti
c. Traktat Panjang
d. Traktat Pendek
9. Makam Imogiri adalah salah satu contoh peninggalan sejarah kerajaan Islam di daerah Yogyakarta. Berikut adalah peninggalan sejarah Islam yang lain di Yogyakarta, kecuali . . . .
a. pasar Beringharjo
b. benteng Vredeburg
c. Keraton Yogyakarta
d. taman sari
10. Raja terbesar dari Kerajaan Mataram yang mencoba menghadang laju ekspansi Belanda di Batavia hingga dua kali adalah . . . .
a. Sultan Agung
b. Pangeran Diponegoro
c. Panembahan Senopati
d. Sri Sultan Hamengku Buwono
11. Karya sastra yang berjudul Sastra Gending adalah karya dari raja Mataram yang bernama . . . .
a. Sultan Agung
b. Panembahan Senopati
c. Pangeran Diponegoro
d. Sri Sultan Hamengku Buwono
12. Makam Imogiri terletak di puncak sebuah bukit. Hal ini menandakan adanya pengaruh Hindu, yaitu bahwa . . . .
a. raja-raja memiliki kedudukan yang tinggi
b. agar rakyat mau menghormati rajanya
c. gunung dianggap tempat para dewa
d. agar jauh dari permukiman rakyat
13. Salah satu peninggalan kebudayaan Kerajaan Mataram yang masih bertahan hingga kini dan
digelar setiap tahun berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah . . . .
a. Idul Fitri c. sekatenan
b. Idul Adha d. malam 1 Suro
14. Masuknya pengaruh Islam ke daerah pedalaman di Jawa Tengah tidak terlepas dari tokoh utama pengembangan Islam di Jawa yaitu . . . .
a. Sunan Giri c. Sunan Kalijaga
b. Sunan Muria d. Sunan Malik Ibrahim
15. Para peziarah yang datang ke kompleks makam Imogiri banyak terlibat dalam rangkaian upacara yang berbau sinkretisme. Maksud istilah ini adalah . . . .
a. percampuran dua kebudayaan yang saling mempengaruhi
b. paham yang merupakan perpaduan beberapa aliran yang berbeda
c. kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda
d. kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan
16. Banyaknya orang yang berziarah ke makam Imogiri menunjukkan bahwa . . . .
a. mereka mulai menyadari adanya kekuatan gaib
b. rakyat sudah kehilangan pedoman hidup
c. tingginya pamor raja yang dimakamkan
d. rakyat kehilangan pemimpin yang baik
17. Makam Imogiri menunjukkan bahwa masuknya agama dan kebudayaan Islam berjalan secara
damai dengan menggunakan media Hindu. Istilah yang biasa digunakan untuk menyebut fenomena itu adalah . . . .
a. acculturation
b. devide et impera
c. penetration pacific
d. melting pot
18. Meskipun di dalam ajaran Islam tidak dikenal ritual membakar kemenyan, tetapi para peziarah banyak yang membakar kemenyan wangi dan dupa wangi di sana. Aktivitas ini merupakan contoh . . . .
a. akulturasi
b. interaksi
c. sosialisasi
d. enkulturisasi
19. Salah satu cara Sultan Agung untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan melangsungkan perkawinan antara putrinya dengan adipati di pesisir. Cara ini diterapkan saat menaklukkan . . . .
a. Jakarta
b. Cirebon
c. Surabaya
d. Pekalongan
20. Makam Imogiri adalah salah satu peninggalan Islam yang terkenal di Jawa. Yang wajib menjaga kelestarian bangunan-bangunan peninggalan sejarah seperti itu adalah . . . .
a. para abdi dalem keraton
b. para polisi pamong praja
c. Departemen Kebudayaan
d. seluruh anak bangsa tanpa terkecuali
B. Jawablah pertanyaan dengan tepat!
1. Jelaskan sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam!
2. Mengapa Kerajaan Mataram pecah menjadi dua bagian?
3. Siapa yang membangun makam Imogiri? Jelaskan!
4. Sebut dan jelaskan pembagian kompleks makam Imogiri!
5. Sebutkan peninggalan sejarah Islam di Jawa!
6. Mengapa Sultan Agung menyerang Batavia hingga dua kali?
7. Jelaskan bahwa makam Imogiri merupakan akulturasi antara budaya Hindu, Jawa, dan Islam!
8. Mengapa banyak orang berziarah ke makam Imogiri?
9. Sebutkan para raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram!
10. Ceritakan yang kamu ketahui tentang Sultan Agung!
Demikianlah informasi yang bisa disampaikan berkaitan dengan contoh Soal IPS Kelas 7 Bab 5 tentang Perkembangan Masyarakat Masa Hindu-Buddha hingga Kolonialisme Barat, yang bersumber dari Buku Bse Ilmu Pengetahuan Sosial SMP Kelas VII, Departemen Pendidikan Nasional. Semoga bermanfaat!!!
0 Komentar
Post a Comment